PETA INDONESIA

PETA INDONESIA

Selasa, 15 Desember 2009

KERAJAAN SIAU


I. Raja Leken Banua II 1510 – 1545


Beliau bertahta di tempat bernama Katutungan. Putra dari Pahawon Suluge dngan Permaisuri Ombun Duata dari Kerajaan Bawontehu.

II. Raja Pesuma atau Pansumang 1545 – 1575


Putra Raja Leken Banua II dengan permaisuri Mangima Dampel dari Kesultanan Mindanow. Saudara Raja Pansumang adalah Angkuman dan Wasing Lawewe. Untuk penentuan menjadi Raja menggantikan ayahandanya maka ke duanya Pansumang dan Angkuman mengadakan pertarungan dan berakhir dengan kemenangan dipihak Pansumang di dekat kampong Beong di tempat bernama Lewua Daha antara Ondong dan Ulu.

III. Raja Ponto Wuisan alias Himbawe alias Wetewiwihe 1575 – 1612


Putra Raja Pesuma dengan permaisuri Belisehiwu.

IV. Raja Winsulangi 1612 – 1642


Putra Raja Ponto Wuisan dengan permaisuri Pirambai dari Kolongan. Dalam pemerintahan Raja Winsulangi permusuhan antara Tabukan dan Siau agak mereda karena Raja Winsulangi mengambil permaisurinya dari Saluran / Tabukan bernama Tihuwang Sompo yang mana Tihuwang Sompo adalah juga cucu dari Raja Pesuma dari permaisuri bernama Palungbulaeng dari Saluran / Tabukan. Di jaman pemerintahan Raja Winsulangi dengan siasat yang sangat licik bangsa Portugis dapat menginjakan kakinya dibumi Siau dengan membawa “ Mission Sacre “ mereka yang diterima sebagai sahabat oleh Raja Winsulangi. Dengan pengaruh penyebaran agama Katolik maka Portugis dapat mendirikan benteng Gurita di Ondong dan benteng Sumpini di Lilento ‘Ulu. Pada tahun 1614 beliau dibaptis di Menado setelah beliau menerima pengajaran tentang agama Katolik dalam waktu yang sangat singkat. Beliau dibaptis oleh Pastor Diago Mangelhaens dengan memperoleh nama babtis “ Don Jeronimo Winsulangi “.

Pada tahun 1619 Pastor Pedro Maxarenhas dari Ternate berkunjung ke Siau mengadakan misa suci untuk keluarga Raja, bertepatan dengan hari Paschen atau Paskah, maka sejak saat itulah nama Katutungan berganti Paseng sampai saat ini. Selain bangsa Portugis maka bangsa Spanyol pun telah dapat menanamkan pengaruhnya pada masa pemerintahan Raja Winsulangi. Hal ini tidak mengherankan karena sejak terbukanya pintu pertahanan di bagian utara, khususnya Philipina dimana gugurnya Raja Soleman dari Philipina dalam pertempuran terakhir dengan Spanyol di teluk Manila pada tahun 1570, maka kekuatan armada Spanyol untuk mengalir ke arah Selatan tidak dapat dibendung lagi walaupun ada pertempuran-pertempuran di bagian Selatan Mindanaou dan mulai saat itulah Philipina jatuh ke tangan Spanyol. Di samping kekuasaan Spanyol dan Portugis, maka VOC pun telah ada dan mulai timbul persaingan perebutan kekuasaan menguasai wilayah Sangir Talaud antara Belanda dan Spanyol.

V. Raja Don Harvius Fransisco Batahi 1642 – 1678


Putra Raja Don Jarenimo Winsulangi dengan permaisuri Tihuwang Sompo dari Saluran / Tabukan. Kedudukan Raja dari Paseng dipindahkan ke Pohe, sebagai suatu siasat untuk mengusir bangsa Spanyol yang telah mengingkari janji sebagai sahabat namun akhirnya dirasakan untuk mengambil seluruh kerajaannya di mana tadinya hanya diterima sebagai sahabat sewaktu dalam pemerintahan ayahnya. Setelah perbentengan siap untuk pertahanan disekitar Pehe maka mulai beliau membuka serangan sebagai satu usaha untuk mengusir Spanyol dari daratan Siau. Kesultanan Ternate mendengar bahwa Raja Batahi bertempur melawan Spanyol maka sebagai simpati dari Sultan Bacilisiberi karena hubungan kekeluargaan antara Ternate dan Sangir karena perkawinan putri-putri Sangir dan Ternate maka beliau mengirimkan satu armada ke Siau untuk membantu Raja Batahi. Di samping itu VOC yang berpusat di Ternate memperhitungkan bahwa adalah kesempatan bagi mereka untuk menanamkan kukunya di Siau, maka Gubernur Padbrugge mengirimkan pula satu armada VOC ke Siau untuk memperkuat pertahanan Raja Batahi. Dua armada yang berangkat dari Ternate menuju Siau dan dengan bantuan tersebut akhirnya kemenangan berada di pihak Raja Batahi dan Spanyol angkat kaki dari Siau. Dengan tersisinya Spanyol dari Siau maka kesempatan bagi VOC untuk memainkan peranannya melaksanakan tujuannya menguasai Siau dan kepulauan Sangir pada umumnya sudah licin karena saingannya sudah tidak ada lagi. Tiba saatnya bagi Belanda sekarang untuk mendesak Raja Batahi untuk menerima apa yang mereka kehendaki. Dengan keadaan yang terdesak dan tak ada jalan lain yang ditempuh karena baru sembuh dari pertempuran dengan Spanyol maka dengan rasa berat beliau menerima satu perjanjian yang disodorkan oleh Belanda di Ternate pada tanggal 9 November 1677 bersama-sama Raja-Raja Sangir lainnya :

- Raja Philips Antoni Aralung Nusa Tagulandang

- Raja Vasgo da Gama Tabukan

- Raja Diamanti Manganitu

-

Permaisuri Raja Batahi adalah putri dari Don Fransisco Makaampow Judha I Raja ke IV dari

Tabukan bernama Maimuna. Dengan perkawinan tersebut hubungan antara kerajaan Siau

dan Kerajaan Tabukan bertambah akrab. Perkawian Putri Maimuna dengan Raja Batahi, Raja

Vasco da Gama dari Tabukan memberikan hadiah kepada cucunya Maimuna wilayah

Kerajaannya di Talaud yaitu pulau Kabaruan dan Salongkere. Menurut versi Saudara Iwan

Arif Padmadinata bahwa pulau Kabaruan dihadiahkan oleh Mahadia Ponto kepada kerajaan

Siau karena Mahadia Ponto mengungguli sayembara ketangkasan yang diadakan oleh Raja

Lekenbanua untuk melebarkan kerajaannya. ( Buletin Ikist No.2 terbitan Mei 1979 halaman

14 dan 15 ). Sampai dimana kebenaran kedua versi ni perlu diadakan penyelidikan oleh ahli-

ahli sejarah muda Sangir Talaud sehingga hasilnya akan dapat dipergunakan sebagai satu

sejarah yang benar - benar konkrit yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Sangir

Talaud. Penulis tidak akan mengurangi kedudukan Para Pangeran Talaud namun yang jelas

bahwa kepulauan Talaud nanti tampil dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Sangir Talaud pada

abad ke XX atau tepatnya pada tahun 1922 dibawah kekuasaan Raja Johannis Tamawiwy

yang berpusat di Beo. Disamping itu kita tidak akan mengsampingkan para pahlawan Talaud

yang timbul pada abad ke XX seperti Raja Dalaeng yang berkuasa di Salibabu barat,

Pahlawan Amale atau Malia, Sarie Tamawiwy di Beo, Larenggang di Arangkaa yang dikenal

Dengan perang Arangkaa melawan penjajah Belanda yang mengakibatkan Raja Larenggang

gugur dalam perang tersebut karena tidak mau tunduk kepada penjajah Belanda.

Demikianlah tulisan ini agak menyimpang sedikit untuk memberikan pandangan tentang

versi saudara Iwan D. A. Padmadinata tentang Pangeran Mahadia Ponto yang

mempersunting putri Wasing Lawee dengan Laekingnya pulau Kabaruan di Talaud.

VI. Raja Hendrik Jacobus Rarame Nusa 1678 – 1716


Putra dari Raja Don Harvius Fransisco Batahi dengan permaisuri Maimuna dari Tabukan. Beliau memeluk agama Protestan. Perdamaian antara Kerajaan Siau dan Tabukan pulih seperti semula dan dengan arti nama Rarame Nusa adalah sebagai lambang Pendamai Nusa. Oleh Datuknya Raja Tabukan Don Fransisco Makaampow Yudha I diberikan sebagian kerajaannya di selatan Pulau Kahakitang, Para’ dan Mahongetang. Dengan demikian Kerajaan Rarame Nusa bertambah luas.

VII. Raja Daniel Jacobus Lohontundali 1716 – 1752


Putra dari Raja Hendrik Jacobus Rarame Nusa dengan permaisuri Dolonaego. Beliau wafat di Ternate sewaktu mengadakan kunjungan ke Ternate dan dimakamkan di Gereja Ternate sedang rambutnya dicukur dan di kirim ke Siau dan ditanam didalam rumah Gereja di Pohe.

VIII. Raja Ismail Jacobus Mohengkelangi 1752 – 1788


Putra dari Raja Daniel Jacobus Lohontundali dengan permaisuri Mendulangkati putri Raja Mehengkalangi dari Tabukan. Pusat pemerintahan oleh beliau dari Pehe dipindahkan ke Ondong. Mengingat beliau adalah seorang yang taat kepada agama Protestan maka pada tahun 1755 beliau mendirikan gereja Ondong dengan arsitek seorang guru Injil dari Ambon bernama Lopulalan. Bentuk rumah gereja tersebut persegi delapan menurut bentuk bangunan pada jaman itu, namau pada tahun 1956 bentuknya dirubah menjadi persegi empat. Pada jaman pemerintahan beliau Kerajaan Tagulandang menghadiahkan sebidang tanah ditempat beranama Wenene’, demikian pula kajeguguan Tamake menghadiahkan sarang burung di pulau Kalama.

IX. Raja Ericus Jacobus Begandelu 1788 – 1790


Putra Raja Ismail Jacobus Mohengkelangi dengan permaisuri Ester Monggeadi Manoppo dari kerajaan Bolang Itang, karena terganggu ingatannya maka beliau hanya memerintah selama 2 tahun dan digantikan oleh adiknya Egenius Jacobus Umbeliwutan.

X. Raja Egenius Jacobus Umbeliwutan 1790 – 1822


Saudara Raja Ericus Jacobus Begandelu. Dalam pemerintahan beliau kejaguguan Tamake menghadiahkan kembali sarang burung di pulau Kalama dengan suratnya tanggal 26 Oktober 1801.

XI. Raja Fransisco Tapianus Paparang Batahi 1822 – 1839


Putra dari Raja Tabukan ke IX Julius Hendrik David Paparang Pahawuaten dengan permaisuri Elizabeth Jacobus Nurumilang saudari dari Raja Ismail Jacobus Mohengkelangi.

XII. Raja Nicolaus Ponto Tawere 1839 – 1842


Putra dari Raja Salmon Ponto dari Kerajaan Bolang Itang dengan permaisuri Vilipina Jacobus Silegondo saudari dari Raja Ismail Jacobus Mohengkelangi.

XIII. Presiden Raja Markus Dulage 1842 – 1850

XIV. Raja Jacob Ponto 1850 – 1882


Putra Raja Bolang Itang Daud Ponto saudara dari Raja Nicolaus Ponto Tawere. Pada jaman pemerintahan beliau terjadi pertikaian dengan kerajaan Manganitu mengenai wilayah teluk Daghe sampai Lapunge, di mana Raja Jacob Ponto mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah kerajaan Siau. Ditengah pertikaian ke dua kerajaan Siau dan Manganitu ini maka Kerajaan Tabukan memberikan sanggahan yang ditujukan kepada Presiden Manado bahwa daerah yang dipersengketakan itu adalah wilayah Tabukan, dan adalah hadiah dari Kulange Wangua Daghe kepada putrinya bernama Bausang yang menjadi istri Kulane Ansiga dari Saluran / Tabukan. Secara historis maka wilayah yang dipersengketakan itu adalah termasuk wilayah Tabukan setelah penyatuan dua kerajaan Saluran dan Sahabe yang menjadi Kerajaan Rimpulaeng. Akhirnya sengketa itu dapat diselesaikan dengan damai dimana wilayah itu dibagi dua. Dasar hukum yang diajukan oleh Tabukan, bahwa wilayah itu belum diberikan kepada siapa-siapa oleh Kerajaan Tabukan baik yang menjadi Raja ataupun permaisuri dari kerajaan lain. Dengan campur tangannya Presiden Manado yang diwakili oleh Controleur van Zenden maka wilayah itu dibagi kepada keduanya yang bersengketa pada tahun 1882, dengan batas-batasnya sebagai berikut:


a. Dari Tempat bernama Limangu keluar sampai Tonde Manandu dan Pulau Mahuru

menjadi wilayah Siau.


b. Dari Limangu masuk ke dalam sampai ke tempat bernama Tompohe Laine dan keluar

lagi ke tempat bernama Batun Puikang menjadi wilayah Manganitu.

Dalam keputusan ini rupanya tidak memuaskan Raja Jacob Ponto disamping politik

penjajah Belanda yang mengekang kedaulatan Kerajaan-kerajaan di Sangir Talaud

setelah adanya satu perjanjian dengan penjajah Belanda yang walaupun Belanda

mengakui adanya Swapraja tetapi kekuasaan mutlak adalah ditangan Belanda. Untuk

menghindari kelanjutan dari peristiwa tersebut, disamping pemerintaha colonial

melihat bahwa Raja Jacob Ponto adalah seorang yang berbahaya dimata pemerintah

Belanda, dan menjadi duri dalam tubuh kolonial maka pada tahun 1882 beliau dibuah

keluar daerahnya ke pesisir utara Jawa Barat ke kota Cirebon. Beliau menetap di

Cirebon sampai wafat pada tahun 1890, dan dimakamkan di selatan kota Cirebon

bernama Sangkanurip 12 km dari kota Cirebon. Bagi generasi tua di kota Cirebon beliau

dikenal dengan sebutan Raja Menado.

XV. Presiden Raja Semuel David 1882 – 1896


Pada jaman pemerintahan beliau pusat pemerintahan di Ondong dipindahkan ke Ulu pada tanggal 30 November 1890.

XVI. Raja Manalang Dulage Kansil 1896 – 1908


Putra Jagugu Matengkelang dengan permaisuri bernama Maitung. Wilayah kerajaan Siau menciut, karena kejaguguan Tamake yang meliputi : Tanjung Lelapide sampai dengan tempat bernama Limangu, dan pulau-pulau Mahumu, Kalama, Kahakitang, Sanggaluhang diberikan kepada putrinya bernama Louise Ella Kansil sebagai hadiah perkawinan dari ayahnya pada tahun 1912, yang menjadi permaisuri Raja Manganitu, Raja Komisi Wiliam Pandesolang Mocodompis. Pada tahun 1908 Raja Manalang D. Kansil berhenti dan Kerajaan Siau dijabat oleh Presiden Raja A.J. Mohede sampai tahun 1912.

XVII. Presiden Raja A. J. Mohede 1908 – 1912

XVIII. Raja Antoni Jafet Kansil Bogar 1912 – 1918


Putra dari saudara perempuan Raja Manalang Dulage Kansil. Beliau wafat pada tahun 1918 karena serangan penyakit influenza yang melanda kepulauan Sangir Talaud pada tahun 1918. Pemerintahan kerajaan Siau sejak saat itu dijabat oleh Antoni Dulage Laihad selaku Presiden Raja dimana sebelumnya beliau adalah Jegugu Ulu. Beliau adalah putra dari Kapten Laut Ponto Laihad dari Saluran dan ibunya adalah saudara perempuan dari Jegugu Matingkelang bernama Apung. Beliau memegang kendali pemerintahan kerajaan Siau sampai tahun 1921.

XIX. Presiden Raja Antoni Dulage Laihad 1918 – 1921

XX. Raja Lodewyk Nicolaus Kansil 1921 – 1929
Putra dari Raja Manalang Dulage Kansil dengan permaisuri Beha’timbang. Raja Lodewyk atau juga dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Raja Lody dibuang oleh pemerintah Blenada pada tahun 1929 ke Parigi Sulawesi Tengah. Pemerintah Belanda mulai waspada terhadap Raja-raja yang mempunyai wibawa dengan berlatarkan peristiwa-peristiwa pada jaman lampau sehingga dicari alasan-alasan yang kuat untuk menyingkirkannya.

XXI. 1929 – 1934 untuk mengisi ke vacuman dalam pemerintahan Kerajaan Siau setelah

berangkatnya Raja Lody menuju tempat pembuangannya maka Kerajaan Siau dirangkap oleh

Raja Tagulandang Hendrik Philips Jacobz.

XXII. Raja Hendrik Janis 1934 – 1937


Raja Hendrik Janis adalah Raja terakhir dari Kerajaan Siau. Setelah Raja Janis berhenti maka pemerintah Belanda mengangkat F. Parengkuan dari Minahasa untuk meneruskan pemerintahan Kerajaan Siau sampai tahun 1945.

Demikianlah sejarah perkembangan Kerajaan Siau mulai dari Raja Leken Banua II sejak tahun 1510 sampai tahun 1945.

2 komentar:

MAX SUDIRNO KAGHOO mengatakan...

Saya perlu meluruskan Kisah Sultan atau Kaitjil Sibori dari Kesultanan Ternate. Dia adalah Raja Amsterdam yang merupakan sekutu VOC. Sultan Sibori mengawini paksa Maimuna. Sedangkan antara Raja Batahi dan Maimuna sudah ada hubungan cinta sejati. Raja Batahi kemudian mengambil Maimuna dari Kesultanan Ternate sehingga Sultan Sibori meminta bantuan VOC untuk menyerang Siau. Kepentingan Sibori adalah cintanya, sedangkan kepentingan VOC adalah menaklukkan Spanyol yang saat itu hanya memiliki 17 orang tentara berkedudukan di Benteng Gurita dan Santarosa. Jadi sebenarnya Kerajaan Siau itu diserang oleh Sultan Sibori dan VOC dengan armada laut yang jauh lebih kuat. Tidak ada yang namanya Spanyol diusir oleh Raja Batahi. Sebaliknya justru Spanyol dan Raja Batahi bersekutu melawan kekuatan besar Sibori dan Padtbrugge. Konon kerajaan Tagulandang juga membantu upaya VOC dan Sultan Sibori.

A_B mengatakan...

Bgs jg critanya,,, hitung2 menabah wawasan,,,, salam kenal