PETA INDONESIA

PETA INDONESIA

Sabtu, 26 Maret 2011

Oh, Palangka Raya!

OLEH BINTANG SARIYATNO


Palangka Raya adalah ibukota dari Kalimantan Tengah, walaupun tergolong kota kecil tapi damai dan tenang. Palangka Raya punya banyak keunikan, contoh: bundarannya, sungainya, hutannya yang masih tergolong banyak dari ibukota pada umumnya. Tapi hidup di Palangka Raya itu enak, contohnya; jalan tidak ada yang macet, orangnya ramah-ramah, tidak ada polusi udara, aman, dan nyaman.


jalanjalanterus.files.wordpress.com/2007/10/jembatan.jpg

Palangka Raya dulunya adalah sebuah desa yang bernama desa Pahandut, dan karena ada pemekaran provinsi. Pada awalnya Kalimantan Tengah menjadi satu provinsi dengan Kalimantan Selatan. Karena masyarakat Kalimantan Tengah ingin untuk mengatur dirinya sendiri, maka Kalimantan Tengah pun berpisah dari Kalimantan Selatan.

Palangka Raya resmi menjadi ibukota provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Juli 1957. Berdirinya Palangka Raya diresmikan oleh Presiden pertama RI, yakni Bapak Ir. Soekarno. Walaupun kotanya tidak ramai seperti di Pulau Jawa, tapi itulah keunikannya kota Palangka Raya.

Kenapa unik?

Palangka Raya itu merupakan salah satu ibukota di Indonesia yang di tengah kotanya dialiri oleh sungai besar bernama Sungai Kahayan. Sungai Kahayan layaknya Sungai Musi di Sumatra Selatan dan banyak menyediakan kebutuhan bagi masyarakat di sekitar. Hampir semua penduduk yang hidupnya di sekitar bantaran Sungai Kahayan rata-rata mempunyai profesi sebagai nelayan atau hidup sebagai penambang emas. Di pinggir sungai Kahayan banyak terdapat rumah-rumah terapung atau yang kata masyarakat sekitar sering disebut lanting. Pada bagian bawah dari lanting biasannya digunakan oleh penduduk untuk tambak atau tempat memelihara berbagai jenis ikan. Contohnya: ikan Tombro (Cyprinus carpio), dll.

Semua kegiatan sehari-hari masyarakat sangat bergantung pada aliran Sungai Kahayan, sehingga sungai ini memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Jembatan Kahayan juga sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk tempat santai-santai sambil menunggu malam (matahari terbenam). Tapi, ada unik dari Jembatan Kahayan, yaitu pasti dijaga oleh polisi jika mendekati pengumuman kelulusan anak SMA atau sederajat. Takutnya, ada yang nekat hendak mengakhiri hidupnya jika tidak lulus Ujian Nasional.


Catatan: tulisan ini disadur dari blog saya.

* foto diambil dari jalanjalanterus.wordpress.com

DAYAK

OLEH BINTANG SARIYATNO


Jika mendengar sebutan kata Dayak pasti akan teringat akan nama sebuah suku yang hidup dan menetap di pulau Kalimantan. Suku Dayak adalah nama suku yang memiliki budaya yang bersifat daratan bukan budaya maritim. Budaya daratan yang dimaksud disini adalah sebuah budaya yang hampir di setiap segi kehidupan suku tersebut dilakukan di daratan bukan di daerah pesisir apalagi di lautan seperti budaya maritim. Hal itu dapat dilihat dari kegiatan sehari-harinya suku Dayak, seperti berburu, bertani, dan berkebun.


www.kualalumpurcentral.com/Kuala%20Lumpur%20National%20Museum%20Dayak%20Head%20Hunter%20from%20Sarawak.jpg

Kata Dayak menurut R. Sunardi dan O. K. Rahmat, keduanya menyatakan bahwa Dayak adalah sebuah kata untuk menyatakan suatu kelompok yang tidak menganut agama Islam dan hidup menetap di pedalaman Kalimantan. Istilah ini juga yang diberikan oleh bangsa Melayu yang hidup di daerah pesisir Kalimantan yang berarti gunung. Bangsa Melayu pada waktu itu adalah sekelompok masyarakat yang tidak lain dan tidak bukan adalah masyarakat yang berasal dari daerah Melayu dan berbahasa Melayu pula. Tetapi akan lain pengertiannya jika yang disebut orang Melayu adalah orang Dayak yang sudah memeluk agama Islam.

Jika dilihat dari pandangan orang Dayak sendiri, yang disebut sebagai orang Melayu adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah Melayu dan para pendatang lain yang berdatangan ke Kalimantan, kecuali kelompok Tionghoa, yang mendiami Kalimantan. Orang-orang Melayu mengatakan bahwa Dayak itu berarti orang gunung. Tidak ada kamus atau para ahli yang menyatakan bahwa kata Dayak itu berarti orang gunung, hal itu disebabkan karena sebagian besar dari orang Dayak menetap di daerah hulu sungai dan topografi tanahnya bergunung-gunung tetapi tidak berarti orang Dayak adalah orang gunung. Di samping nama Dayak ada juga istilah Dyak. Istilah Dyak ini diberikan oleh orang Inggris dulu kepada suku-suku Dayak di Kalimantan Utara (Malaysia).


bolaeropa.kompas.com/photos/MATA%20AIR/5balian.jpg

Suku Dayak yang Menetap di pulau Kalimantan itu tersebar di seluruh bagian Kalimantan dan hidup tersebar-sebar, di daerah hulu sungai, di daerah yang tofografinya gunung-gunung, lembah-lembah, dan di kaki bukit. Untuk menyebut jati diri mereka, orang Dayak biasanya memakai nama aliran sungai besar yang daerah pesisirnya mereka diami. Misalnya orang Dayak yang mendiami daerah pesisir sungai Kahayan, mereka menyebut jati diri mereka sebagai uluh Kahayan (orang Kahayan). Ada uluh Katingan,uluh Barito, dan lain sebagainya.

Di antara orang-orang Dayak itu sendiri, ada sekelompok orang yang berkeberatan memakai kata Dayak sehingga muncullah istilah yang lain, yairu Daya. Istilah Daya ini sangat populer di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Kata Dayak dan Daya sebenarnya merujuk pada satu suku saja, yaitu suku Dayak. Dan dalam bahasa Dayak Ngaju kedua kata itu merupakan sebuah kata sifat yang menunjuk pada suatu kekuatan. Dalam bahasa Sangen kata Dayak dan Daya itu berarti bakena (gagah).


Catatan: tulisan ini disadur dari blog saya.

* beberapa bagian dari "Encyclopoedie Nederlandsch Indie Op Het Woord Dayak", foto dari kualalumpurcentral.com dan kompas.com

Bahasa Dayak yang Mulai Pudar

OLEH MARVY FERDIAN A. SAHAY


Pada awalnya, dalam lingkupan sosial masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, bahasa yang digunakan adalah bahasa Dayak. Dalam hal ini terdapat beberapa macam bahasa Dayak, seperti bahasa Dayak Ngaju, bahasa Dayak Maanyan, Dusun, Bakumpai, dan lainnya. Dari beberapa jenis bahasa tersebut, bahasa Dayak Ngaju boleh dikatakan adalah bahasa yang paling populer di Kalimantan Tengah. Kata populer disini dalam artian bahwa hampir kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah, baik dari hulu ke hilir, dari barat ke timur di seluruh wilayah Kalimantan Tengah mengerti bahasa Dayak Ngaju. Boleh dikatakan bahwa bahasa Dayak Ngaju merupakan bahasa pengantar (lingua franca) di Kalimantan Tengah.

Tapi seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar semakin berkurang, khususnya di kalangan generasi muda. Penggunaan bahasa Dayak bahkan kalah dengan penggunaan bahasa Banjar yang notabene adalah bahasa pengantar provinsi tetangga (Kalimantan Selatan). Fenomena ini sangat dominan terlihat dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Kalimantan Tengah. Sebagai contoh, dalam sebuah lingkungan sekolah, jelas sekali diketahui bahwa hampir 90% warga sekolah berinteraksi menggunakan bahasa Banjar, entah itu antar murid, antar guru, atau guru dan murid. Padahal jelas-jelas mayoritas warga sekolah adalah orang asli Dayak, tetapi ironisnya yang menggunakan bahasa Dayak hanya segelintir orang saja.

Dalam fenomena ini, saya melihat adanya beberapa faktor yang mempengaruhi lunturnya pemakaian bahasa Dayak dalam kehidupan sosial masyarakat di dalamnya. Faktor-faktor tersebut, antara lain:

  1. Kurangnya kemauan dari generasi muda Dayak untuk mempelajari bahasa Dayak.
  2. Adanya stereotif di kalangan masyarakat, khususnya dari kalangan anak muda bahwa bahasa Dayak itu tidak mencerminkan suatu kemodernan.
  3. Kurangnya penghargaan dari masyarakat terhadap bahasa daerahnya sendiri, dalam hal ini bahasa Dayak.
  4. Bahasa Dayak tidak 'mendominasi' pasar. Dalam suatu bahasan ilmu antropologi dijelaskan bahwa, bahasa yang mendominasi suatu daerah awalnya adalah bahasa yang mendominasi dalam lingkungan pasar di daerah tersebut. Sebagai contohnya, di Lampung bahasa pengantarnya adalah bahasa Padang, karena para pedagang di pasar didominasi oleh para pendatang dari Padang. Hal ini juga terjadi di Kalimantan Tengah, mayoritas pedagang yang berjualan di pasar adalah dari suku Banjar, maka otomatis mereka berinteraksi dengan sesama pedagang atau dengan pembeli menggunakan bahasa Banjar, yang kemudian terbawa hingga ke lingkungan di luar pasar.

Sebenarnya tidak sulit untuk mengembalikan budaya berbahasa Dayak. Hanya diperlukan kesadaran dari setiap individu masyarakat. Toh, tidak ada ruginya kita berbahasa Dayak. Tidak ada itu stereotif “tidak gaul”, atau gengsi berbahasa Dayak. Karena bahasa pengantar masyarakat Dayak sekarang pun sebenarnya adalah bahasa daerah. Untuk itu, marilah kita biasakan berbahasa Dayak, paling tidak dari lingkup terkecil seperti keluarga. Mari lestarikan budaya leluhur kita. Ayu itah habasa Dayak!

Bahasa Nasional[is] dan Kebudayaan

OLEH RUDY GUNAWAN


Momen yang disebut sebagai "Sumpah Pemuda" memang telah lewat. Ada hal yang menarik terkait dengan momen tersebut, sebagaimana adanya dengan fenomena-fenomena mutakhir: tak lain ialah bahasa.

Momen "Sumpah Pemuda" menyinggung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, selain menyoal bangsa dan tanahair yang satu. Momen tersebut tahun ini sedikit-banyak mengangkat persoalan bahasa terkait dengan "sengketa kebudayaan" antara Indonesia dan Malaysia, fenomena "bahasa alay" di kalangan generasi internet, serta "bahasa gado-gado" yang memakai berbagai macam bahasa dalam satu kalimat (seringkali menyisipkan bahasa Inggris dalam dialog berbahasa Indonesia), juga masalah-masalah klasik seperti berkurangnya pemakaian bahasa daerah dan punahnya beberapa bahasa daerah karena tidak ada lagi penutur aselinya.

Dari fenomena-fenomena di atas, salah satu wacana yang paling menonjol adalah bahasa Indonesia versus bahasa daerah atau bahasa lokal. Satu pihak mengklaim bahwa penggunaan bahasa Indonesia —entah sesuai EYD atau tidak— menandakan rasa nasionalisme yang tinggi, pihak lain ada yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah tidak aseli Indonesia tapi hampir semuanya berupa serapan dari berbagai bahasa [asing] (lihat Alif Dasya Munsyi alias Remy Sylado, 2003: 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing), dan ada pula yang menggalakkan kampanye mengenai penggunaan bahasa daerah sebagai wujud pelestarian kebudayaan.

Mengenai perihal ini saya kurang-lebih sependapat —walau di lain pihak juga mengkritisi beberapa bagian— dengan guru saya, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam salah satu tulisannya. Izinkan saya untuk mengetik ulang petikan [bagian akhir] dari tulisan beliau tersebut, yang berjudul "Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian", lebih tepatnya sub-bab "Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia" bertarikh 1997.

***

Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia

Berbagai contoh yang telah saya kemukakan di atas cukup kiranya untuk membuka mata kita akan pentingnya studi etnolinguistik bagi kita di Indonesia. Kita ingat bahwa salah sebuah slogan yang masih tetap penting hingga kini adalah slogan "melestarikan kebudayaan". Slogan ini memang sangat menarik dan memang layak disetujui. Tetapi tampaknya hanya sedikit orang yang memikirkan betul-betul bagaimana hal ini bisa dilakukan. Di sinilah etnolinguistik dapat memainkan peranannya yang sangat penting.

Jika kita setuju bahwa bahasa adalah sistem simbol yang teramat penting dalam kehidupan dan perkembangan kebudayaan manusia; bahwa dalam bahasalah tersimpan khasanah pengetahuan suatu masyarakat atau suku bangsa; bahwa mengenai bahasalah sebenarnya orang "memandang" lingkungannya; kita tentunya akan setuju bahwa pelestarian kebudayaan dalam bentuknya yang paling konkret tidak lain adalah pelestarian bahasa-bahasa lokal di seluruh kawasan Indonesia. Pandangan ini mungkin akan segera membuat banyak orang berkata "itu suatu hal yang mustahil". Oleh karena itu, perlu dijelaskan lebih lanjut, apa arti melestarikan bahasa lokal tersebut.

Pelestarian bahasa-bahasa lokal di sini tidaklah harus diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi bahasa-bahasa tersebut, artinya orang dipaksa untuk menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari sebab hal semacam itu tidak akan mungkin dilakukan. Misalnya, orang boleh saja tidak bersedia belajar bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, tetapi dia akan merasakan sendiri bahwa ketidakmampuannya menggunakan bahasa-bahasa tersebut akan membuatnya tidak mampu bersaing dalam mencari pekerjaan dengan mereka yang menguasai bahasa-bahasa tersebut. Oleh karena itu, pelestarian bahasa lokal tidak harus diartikan bahwa bahasa tersebut harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pelestarian dalam konteks ini dapat diartikan sebagai segala upaya untuk mendeskripsikan berbagai bahasa lokal di Indonesia dengan segala seluk-beluknya, mulai dari soal tata bahasa, morfologi, semantik, hingga fonologinya. Pendokumentasian bahasa ini kelihatannya memang tidak begitu penting, tetapi sebenarnya akan sangat banyak memberikan manfaat jika kita memang menyadari manfaatnya serta dapat memetik manfaat tersebut. Manfaat ini tidak hanya akan dipetik oleh ahli-ahli bahasa, yang akan dapat menggunakannya untuk memperkaya khasanah bahasa Indonesia, tetapi juga akan dapat dipetik oleh para ahli ilmu pengetahuan yang lain.

Sebagai contoh, dengan menganalisis berbagai bidang pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat lewat bahasa mereka, kita akan dapat mengetahui berbagai pandangan hidup mereka yang secara implisit ada di balik bahasa, yang tidak dapat diungkapkan oleh pemilik bahasa itu sendiri. Dengan mengetahui pandangan hidup yang implisit ini, paling tidak kita akan dapat memahami cara pandang mereka serta berbagai perilaku mereka yang berdasarkan pandangan hidup tersebut. Dengan begitu pula, kita akan dapat menghargai dan memberikan toleransi pada mereka.

Lebih lanjut dengan mengetahui budaya suatu masyarakat dari bahasa yang mereka miliki, serta penguasaan atas bahasa mereka, kita akan dapat melakukan dialog dengan para pendukung kebudayaan tersebut. Dari dialog ini akan tercipta suatu kerangka berpikir bersama, yang akan menjadi kerangka acuan bersama dalam kehidupan sehari-hari, dan ini akan mengurangi kemungkinan timbulnya salah pengertian, yang akan dapat membawa kita pada konflik yang membahayakan kehidupan kita sendiri.

Sayang sekali, bahwa hal semacam ini masih belum sepenuhnya disadari oleh banyak warga masyarakat kita. Banyak orang masih menganggap bahwa persoalan bahasa akan dapat terselesaikan dengan sendirinya asalkan sudah ada bahasa nasional; konflik dan kericuhan akan berkurang bilamana masalah ekonomi dapat terpecahkan; salah pengertian dan konflik yang diakibatkannya dapat dicegah bilamana orang semakin sadar akan agamanya, semakin tinggi pendidikannya, dan sebagainya. Mereka yang mengikuti pandangan semacam ini lupa bahwa semua itu akhirnya bermuara pada soal komunikasi antarkelompok dan antarindividu. Bagaimana komunikasi bisa berjalan dan salah pengertian bisa dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui bahasa masing-masing dengan baik?

***

Salah satu yang saya kritisi adalah paragraf terakhir dalam sub-bab ini, yang kurang menjelaskan kalimat"bagaimana komunikasi bisa berjalan dan salah pengertian bisa dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui bahasa masing-masing dengan baik?" sehingga maksudnya ambigu, dan bisa saja orang akan menjawab:"karena itu, agar lebih mudah, berkomunikasilah dengan satu bahasa, bahasa pemersatu".

Kalimat tersebut tentu tidak dapat langsung dimaknai sesederhana itu, karena menurut saya di situ Prof. Ahimsa-Putra bermaksud merujuk pada konteks bahasa dan cara [pemikiran] penuturnya memandang hidup, kenyataan, dan lingkungan. Kita ambil contoh yang cukup dekat, dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai macam istilah padi, gabah, nasi yang dalam bahasa Inggris hanya dikenal sebagai rice. Dalam bahasa Jawa, istilah ini lebih kaya lagi dengan tambahan sega, upa, dan intip. Barulah istilah paddykemudian lahir untuk menyesuaikan (mohon koreksinya). Di sini terlihat perbedaan pada masyarakat Indonesia dan Inggris dalam memandang padi, gabah, nasi, atau rice tersebut —yang dalam hal ini terkait pada Indonesia sebagai negara agraris yang mengenal bercocok tanam dengan sistem bersawah, yang mana hal ini tidak ditemukan di Inggris. Karena perbedaan kebudayaan (sistem mata pencaharian adalah salah satu unsur kebudayaan, menurut beberapa pandangan) tersebut, maka sangat tidak mungkin untuk dapat memahami satu sama lain sepenuhnya hanya dengan satu bahasa.

Semoga sedikit penjelasan ini dapat membantu atas pengertian terhadap tulisan di atas.

CATATAN: Tulisan ini sedikit banyak untuk menanggapi tulisan Bahasa Dayak yang Mulai Pudar dan Menuju Perlindungan Budaya Itah. Tulisan ini juga diterbitkan di blog pribadi saya dengan judul yang sama.

* petikan tulisan "Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia" oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, foto oleh antobilang.wordpress.com

MANDAU, SENJATA KHAS DAYAK

OLEH : BINTANG SUYATNO

Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong.


www.aconet.cz/npm/exhibitions/asia_kalimantan/pics/10790.jpg

Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besu per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.

Mandau atau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau harus disimpan dan dirawat dengan baik ditempat khusus untuk penghormatan. Karena suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari lawan-lawannya. Dan mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan jika pemilik mandau tersebut bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki.

Mandau selain dibuat dari besi batuan gunung lalu diukir, pulang atau hulu mandau (tempat untuk memegang) dibuat berukiran dengan menggunakan tanduk kerbau untuk yang pulang-nya berwarna hitam. Dan menggunakan tanduk rusa untuk pulang yang berwarna putih. Pembuatan pulang dapat juga menggunakan kayu kayamihing. Pada bagian ujung dari pulang diberi atau ditaruh bulu binatang atau rambut manusia. Untuk dapat melengkatkan sebuah mandau dengan pulang dapat menggunakan getah kayu sambun yang terbukti sangat kuat kerekatannya.Setelah itu kemudian diikat lagi dengan jangang, namun jika jangang sulit ditemukan dapat menggunakan uei (anyaman rotan).


www.valiantco.com/antique/i-0106Mandau.JPG

Besi mantikei yang digunakan untuk bahan baku pembuatan mandau dapat ditemukan didaerah Kerang Gambir, sungai Karo Jangkang, sungai Mantikei anak sungai Samba simpangan sungai Katingan, dan desa Tumbang Atei.

Tidak lengkap kiranya jika mandau tidak memiliki kumpang. Kumpang ialah sebutan sarung untuk mandau, kumpang mandau merupakan tampat masuknya mata mandau biasanya dilapisi tanduk rusa. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan).

Pada bagian depan kumpang dibuat sebuah sarung kecil tempat menyimpan langgei puai. Langgei puai adalah sejenis pisau kecil sebagai pelengkap mandau. Tangkainya panjang sekitar 20 cm dari mata anggei, bentuknya lebih kecil dari pada tangkainya. Fungsi dari langgei puai adalah untuk menghaluskan atau membersihkan benda-benda, contohnya rotan. Sarung atau kumpang langgei selalu melekat pada kumpang mandau. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara mandau dan langgei puai adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.


Catatan: tulisan ini disadur dari blog saya.

* foto diambil dari www.valiantco.com