PETA INDONESIA

PETA INDONESIA

Sabtu, 26 Maret 2011

Manyadiri, Preventif Mara Bahaya

OLEH EDDY RANAN

Manyadiri atau Nyadiri, adalah suatu model upaya preventif dan kuratif yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Dayak agar keluarganya terhindar dari sial kawe (mara bahaya). Bahkan melalui ritual Nyadiri diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang mengancam kelangsungan kehidupan keluarga. Di dalam kehidupan modern sekarang, upaya pencegahan agar tidak menderita sakit, adalah lebih penting daripada upaya mengobati. Anjuran ini sudah sering kita dengar dan semua orang sangat memahami arti dari sepotong kalimat diatas.

Ada berbagai cara mencegah agar seseorang tidak mengalami sakit, (1) menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam kesehariannya, (2) melakukan general checkup dengan memanfaatkan teknologi kedokteran modern yang tersedia di unit-unit pelayanan kesehatan yang ada disekitar kita. Pemanfaatan teknologi kedokteran modern, dapat membantu mengetahui dengan cepat, akurat kondisi tubuh seseorang, apakah sehat atau mengalami gangguan kesehatan ringan sampai gangguan kesehatan serius. Bila diketahui bahwa seseorang mengalami gangguan kesehatan serius, maka perlu dilakukan segera pengobatan medis lanjutan agar dapat sehat kembali atau paling tidak dapat mempertahankan usia harapan hidupnya.

Upaya rehabilitasi medis bagi seseorang yang mengalami gangguan kesehatan serius memerlukan biaya mahal, yang berdampak kepada resiko ekonomi yang ditanggung akibat menderita sakit. Mengelola resiko ekonomi akibat menderita sakit sangatlah penting yaitu melalui program Jaminan Kesehatan (health insurance). Artinya segala macam resiko ekonomi seperti jatuh miskin, bangkrut, melarat akibat pembiayaan kesehatan yang mahal, diserahkan sepenuhnya kepada suatu badan asuransi resmi milik pemerintah maupun swasta. Uraian diatas menggambarkan cara-cara masyarakat modern sekarang, mengelola kesehatannya agar terhindar dari dampak resiko ekonomi keluarganya.

Nah, bagaimana masyarakat Dayak mengelola kesehatannya agar tidak jatuh sakit dan yang sakit dapat sembuh kembali, melalui ritual Manyadiri atau Nyadiri yang sampai sekarang masih dipercaya dan sering dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kalimantan Tengah. Bagaimana ritual Manyadiri dilakukan? Mari ikuti penuturan singkat proses ritual Manyadiri sebagai model upaya preventif mengelola kesehatan keluarga di kalangan masyarakat Dayak yang mempercayainya.

Pada zamannya hidup seorang bernama Antang Pitih dan indang (bahasa Dayak halus untuk 'ibu'). Keluarga ini sangatlah miskin--maklum waktu itu belum ada program pemerintah seperti sekarang--rumah tempat tinggalnya jauh dari ukuran rumah layak huni, bahkan untuk persoalan makan pun syukur-syukur satu kali sehari. Jangan ditanya kandungan gizinya pasti anjlok di bawah garis merah.

Persoalan kemiskinan inilah yang selalu dikeluhkan oleh Antang Pitih, dia bertanya kepada Ranying Hatala Langit (Tuhan) kenapa kehidupan keluarganya tidak seberuntung keluarga lainnya. Oleh sebab itu Antang Pitih bermohon dan minta pertolongan Ranying Hatala Langit agar diberi suatu talenta yang dapat digunakan memperbaiki kehidupan keluarganya menjadi lebih baik dan terhormat di lingkungan masyarakatnya pada waktu itu.

[Saya bertanya pada bue yang Basir, kapan ya kejadiannya? Lalu jawabnya, "huss... ela kare pander ikau benyem ih aku gin di katawa hampea!" dalam hati saya ngakak, heheee...]

Segala keluhan dan permohonan Antang Pitih didengar oleh Ranying Hatala Langit.

"Baiklah," kata Ranying Hatala Langit, "aku akan berikan kepada Antang Pitih suatu talenta Tamat Mimpi."

[Lalu kemudian saya tanya bue, "narai je Tamat Mimpi nah?"]

Artinya Antang Pitih diberi talenta melalui mimpi, apapun yang dimimpikan Antang Pitih selagi tidur, maka esok harinya akan menjadi kenyataan. Selama 7 tahun, 7 bulan dan 7 hari, selama itulah mimpi Antang Pintih selalu menjadi kenyataan. Bila Antang Pitih bermimpi mendapat ikan yang banyak maka esok harinya ketika Antang Pitih mencari ikan maka ia memperoleh ikan yang banyak. Pokoknya sejak diberi talenta Tamat Mimpi oleh Ranying Hatala Langit, kehidupan Antang Pitih dan indang-nya serba berkecukupan malah berlebihan.

[Sayang ya waktu itu belum ada mobil, pesawat udara, HP, laptop, dll... Wah bisa kaya raya lah Antang Pitih...]

Suatu ketika Antang Pitih bermimpi dia mati dan akan dijemput oleh para setan dan dedemit. Sebagai seorang Tamat Mimpi, Antang Pitih sangat memahami bakal yang terjadi pada dirinya. Kata Antang Pitih, "pasti matei aku tuh..." (pasti mati aku ini).

Dengan tubuh gemetar, wajah pucat tanpa darah, Antang Pitih melapor pada indang-nya, "oi... indang matei aku tuh, aku nupi matei dan induan taluh andau tuh kea... Dohop aku tuh."

Setelah mendengar penuturan mimpi anaknya, maka indang-nya menyarankan Antang Pitih meminta pendapat atau mencari jalan keluar yang terbaik sebagai upaya preventif kepada suami-istri Tatu Kalaya Henda (orang sakti) yang tinggal di Bukit Salampai Pukung.

[Saya tanya bue, di mana itu? Jawab bue, "jatun ti melai Indonesia su... Bahasa Sangiang..." tambah bingung.]

Dengan berpakaian seadanya, Antang Pitih meraup mandau lalu berangkat menemui Tatu Kalaya Henda di Bukit Salampai Pukung. Dengan langkah cepat dan napas kembang kempis melewati lembah dan bukit (bahu lakau), Antang Pitih berupaya sampai di Bukit Salampai Pukung sebelum tengah hari.

Di tengah perjalanannya Antang Pitih dikejutkan oleh suara orang ramai-ramai menebang kayu dengan riuh gembiranya. Dalam hati Antang Pitih bertanya-tanya, "ada apa ya? Kok ramai sekali orang menebang kayu di tengah hutan..."

Dengan setengah berteriak Antang Pitih bertanya, "oi... pahari narai gawin ketun je rami tutu hikau neweng kayu?" (oi... ada apa gerangan kerjaan kalian ramai menebang kayu di situ?)

Maka dijawab, "ikei tuh lagi manampa raung Antang Pitih, halemei kareh ikei duan ie dan namean hung raung tuh, angat ie matei." (kami ini ramai-ramai membuat peti mati buat Antang Pitih, magrib nanti kami jemput dia dan memasukkannya dalam peti mati ini.)

Hadari pukang-pukang (lari pontang panting) Antang Pitih, tahunya lawan bicara tadi adalah dari komunitas para taluh (hantu, setan, dedemit) yang akan mengeksekusi Antang Pitih sore nanti. Entah berapa lama, sampailah Antang Pitih di Bukit Salampai Pukung tempat tinggal Tatu Kalaya Henda. Tanpa permisi langsung sonder masuk rumah sang petinggi. Dengan wajah layu kecapean, bertanya ia kepada istri Tatu Kalaya Henda, "kueh bue, Mbi?" (di mana kakek, nek?)

"Tege endau hikau, tau tiruh hung kamar baun hikau buem te." (ada tadi di situ, mungkin kakek tidur di kamar depan.)

Tambah bingung Antang Pitih, hendak membangunkan kakek Tatu Kalaya Henda jadi takut, pikirnya sudahlah pulang saja, pasrah biar mati saja.

Dasar Antang Pitih rada-rada sableng, pulanglah dia dari rumah Tatau Kalaya Henda tanpa memperoleh hasil sesuai perintah indang-nya. Tetapi ketika berjalan pulang, teringatlah Antang Pitih dengan ucapan para hantu dan dedemit tadi, maka berbaliklah Antang Pitih kembali ke rumah Tatu Kalaya Henda, dengan harapan siapa tahu kakek tadi sudah bangun.

Lagi-lagi Antang Pitih bikin ulah, setelah sampai rumah Tatu Kalaya Henda bukannya masuk ke rumah, tetapi Antang Pitih diam-diam memanjat pohon jambu yang tumbuh persis di samping pintu kamar tidur Tata Kalaya Henda. Sambil memakan buah jambu Antang Pitih tidur-tiduran di atas pohon jambu tersebut seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan keselamatan jiwanya.

Beberapa saat terdengar suara Tatu Kalaya Henda bangun dan bertanya kepada instrinya, "eweh je dumah endau?" (siapa yang datang tadi?)

"Antang Pitih," jawab istrinya.

"Narai jalana maja kue dan kueh Antang Pitih tu?" (apa tujuan Antang Pitih datang, dan di mana yang bersangkutan sekarang?)

"Dia aku katawa narai jalanan langsung buli, tapi ampin Antang Pitih te kilau tege masalah." (entahlah apa tujuannya langsung pergi, tetapi sepertinya ada sesuatu yang terjadi dengan Antang Pitih.)

"Tawang ku sebab je mawi Antang Pitih, ie te nupi arep ah matei dan setiap je inupi te pasti terjadi, awi Antang Pitih te inenga awi Ranying Hatala Langit, talenta Tamat Nupi, makanya ie paham kapehe atei tagal nupi te." (tahu saya penyebabnya, Antang Pitih itu mimpi dia mati dan mimpi itu benar-benar akan terjadi, sebab Antang Pitih diberi talenta Tamat Mimpi oleh Tuhan, makanya ia sakit hati takut meninggal.)

Tanya istri Tatu Kalaya Henda, "kenampi kuam dohon Antang Pitih kau?" (bagaimana cara menolong Antang Pitih?)

"Narai je kahali, te Antang Pitih mupu ije kalawas humbang, nyuhu indu manampa ancak ije gawang helang puting ah, palus indu ngarakup behas manempe akan manjadi tepung, tepung te hapa manampa 'Patung Sadiri', duan tanteluh manuk due kabawak ije manta ije masak, je manta hapa manyaki Antang Pitih dan je masak andak hung ancak te, palus nampa kea sipa roko, dan mintih behas hambaruan. Te ancak dan Patung Sadiri hantuk telu kali hung takuluk Antang Pitih duan hambarua, palus ancak te agah akan likut huma angat taluh te manduan patung sadiri te kilau gantin biitin Antang Pitih... Salamat Antang Pitih bara pampatei."

Arti penuturan Tatu Kalaya Henda diatas adalah, agar Antang Pitih mencari 1 ruas bambu untuk dibuatkan ancak (wadah) dengan ukuran 1 kilan persegi, lalu indang-nya mengambil beras secukupnya dan ditumbuk menjadi tepung beras untuk membuat Patung Sadiri, kemudian ambil 2 butir telur ayam, 1 butir mentah 1 butir lainnya direbus matang, sesudah itu lalu dibuatkan pinang sirih serta dipilih butir beras secukupnya yang disebut behas hambaruan.

Kemudian Ancak yang sudah dibuat, diisi dengan Patung Sadiri, telur matang, dan sirih pinang, serta behas hambaruan (roh), tahapan selanjutnya ancak tersebut didoakan dengan meletakkan di kepala Antang Pitih sebanyak 3 kali, agar Patung Sadiri tadi mengganti tubuh Antang Pitih. Setelah selesai maka Ancak Sadiri tadi digantung pada dahan pohon yang tidak terlalu tinggi di belakang rumah, dan bila malam tiba maka Patung Sadiri tadi menjelma seolah-olah Antang Pitih. Maka para hantu, setan, dedemit tadi menangkap Patung Sadiri sebagai pengganti Antang Pitih yang sebenarnya. Dan selamatlah Antang Pitih dari kematian.

Antang Pitih yang dari tadi mendengar penuturan Tatu Kalaya Henda, berucap, "kalute lah bue, tarima kasih ih ara." Lalu Antang Pitih bergegas pulang melaksanakan ritual Nyadiri sebagaimana cerita Tatu Kalaya Henda tadi.

Ritual Manyadiri yang kental dengan nuansa mistis, sampai sekarang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Dayak yang menyakininya dapat memproteksi segala marabahaya, sakit penyakit yang berawal dari tafsiran mimpi. Artinya masyarakat Dayak sudah sejak dulu menyerahkan resiko ekonomi yang bakal terjadi akibat sakit bahkan kematian dapat dihindari melalui ritual Manyadiri.

Pelaksanaan Ritual Manyadiri tidak sembarang orang dapat melakukannya. Hanya orang-orang Dayak tertentu yang dikenal dan turun temurun dipercaya dapat melaksanakan ritual Manyadiri. Sampai sekarang ritual Manyadiri masih dilakukan walaupun keberadaannya semakin terlupakan mengingat pengaruh budaya modern semakin tidak terbendungkan.

Mampukah ritual Manyadiri bertaha ndi kalangan masyarakat Dayak? Mengingat sering saya bertanya dengan kehadiran anak-anak mengikuti ritual Manyadiri apa yang menarik bagi mereka. Jawabnya, "salanja manduan tanteluh je tege hung ancak te ih ma..." dasar.

Tidak ada komentar: