Momen yang disebut sebagai "Sumpah Pemuda" memang telah lewat. Ada hal yang menarik terkait dengan momen tersebut, sebagaimana adanya dengan fenomena-fenomena mutakhir: tak lain ialah bahasa.
Momen "Sumpah Pemuda" menyinggung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, selain menyoal bangsa dan tanahair yang satu. Momen tersebut tahun ini sedikit-banyak mengangkat persoalan bahasa terkait dengan "sengketa kebudayaan" antara Indonesia dan Malaysia, fenomena "bahasa alay" di kalangan generasi internet, serta "bahasa gado-gado" yang memakai berbagai macam bahasa dalam satu kalimat (seringkali menyisipkan bahasa Inggris dalam dialog berbahasa Indonesia), juga masalah-masalah klasik seperti berkurangnya pemakaian bahasa daerah dan punahnya beberapa bahasa daerah karena tidak ada lagi penutur aselinya.
Dari fenomena-fenomena di atas, salah satu wacana yang paling menonjol adalah bahasa Indonesia versus bahasa daerah atau bahasa lokal. Satu pihak mengklaim bahwa penggunaan bahasa Indonesia —entah sesuai EYD atau tidak— menandakan rasa nasionalisme yang tinggi, pihak lain ada yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah tidak aseli Indonesia tapi hampir semuanya berupa serapan dari berbagai bahasa [asing] (lihat Alif Dasya Munsyi alias Remy Sylado, 2003: 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing), dan ada pula yang menggalakkan kampanye mengenai penggunaan bahasa daerah sebagai wujud pelestarian kebudayaan.
Mengenai perihal ini saya kurang-lebih sependapat —walau di lain pihak juga mengkritisi beberapa bagian— dengan guru saya, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam salah satu tulisannya. Izinkan saya untuk mengetik ulang petikan [bagian akhir] dari tulisan beliau tersebut, yang berjudul "Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian", lebih tepatnya sub-bab "Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia" bertarikh 1997.
***
Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia
Berbagai contoh yang telah saya kemukakan di atas cukup kiranya untuk membuka mata kita akan pentingnya studi etnolinguistik bagi kita di Indonesia. Kita ingat bahwa salah sebuah slogan yang masih tetap penting hingga kini adalah slogan "melestarikan kebudayaan". Slogan ini memang sangat menarik dan memang layak disetujui. Tetapi tampaknya hanya sedikit orang yang memikirkan betul-betul bagaimana hal ini bisa dilakukan. Di sinilah etnolinguistik dapat memainkan peranannya yang sangat penting.
Jika kita setuju bahwa bahasa adalah sistem simbol yang teramat penting dalam kehidupan dan perkembangan kebudayaan manusia; bahwa dalam bahasalah tersimpan khasanah pengetahuan suatu masyarakat atau suku bangsa; bahwa mengenai bahasalah sebenarnya orang "memandang" lingkungannya; kita tentunya akan setuju bahwa pelestarian kebudayaan dalam bentuknya yang paling konkret tidak lain adalah pelestarian bahasa-bahasa lokal di seluruh kawasan Indonesia. Pandangan ini mungkin akan segera membuat banyak orang berkata "itu suatu hal yang mustahil". Oleh karena itu, perlu dijelaskan lebih lanjut, apa arti melestarikan bahasa lokal tersebut.
Pelestarian bahasa-bahasa lokal di sini tidaklah harus diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi bahasa-bahasa tersebut, artinya orang dipaksa untuk menggunakan bahasa daerahnya dalam kehidupan sehari-hari sebab hal semacam itu tidak akan mungkin dilakukan. Misalnya, orang boleh saja tidak bersedia belajar bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, tetapi dia akan merasakan sendiri bahwa ketidakmampuannya menggunakan bahasa-bahasa tersebut akan membuatnya tidak mampu bersaing dalam mencari pekerjaan dengan mereka yang menguasai bahasa-bahasa tersebut. Oleh karena itu, pelestarian bahasa lokal tidak harus diartikan bahwa bahasa tersebut harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pelestarian dalam konteks ini dapat diartikan sebagai segala upaya untuk mendeskripsikan berbagai bahasa lokal di Indonesia dengan segala seluk-beluknya, mulai dari soal tata bahasa, morfologi, semantik, hingga fonologinya. Pendokumentasian bahasa ini kelihatannya memang tidak begitu penting, tetapi sebenarnya akan sangat banyak memberikan manfaat jika kita memang menyadari manfaatnya serta dapat memetik manfaat tersebut. Manfaat ini tidak hanya akan dipetik oleh ahli-ahli bahasa, yang akan dapat menggunakannya untuk memperkaya khasanah bahasa Indonesia, tetapi juga akan dapat dipetik oleh para ahli ilmu pengetahuan yang lain.
Sebagai contoh, dengan menganalisis berbagai bidang pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat lewat bahasa mereka, kita akan dapat mengetahui berbagai pandangan hidup mereka yang secara implisit ada di balik bahasa, yang tidak dapat diungkapkan oleh pemilik bahasa itu sendiri. Dengan mengetahui pandangan hidup yang implisit ini, paling tidak kita akan dapat memahami cara pandang mereka serta berbagai perilaku mereka yang berdasarkan pandangan hidup tersebut. Dengan begitu pula, kita akan dapat menghargai dan memberikan toleransi pada mereka.
Lebih lanjut dengan mengetahui budaya suatu masyarakat dari bahasa yang mereka miliki, serta penguasaan atas bahasa mereka, kita akan dapat melakukan dialog dengan para pendukung kebudayaan tersebut. Dari dialog ini akan tercipta suatu kerangka berpikir bersama, yang akan menjadi kerangka acuan bersama dalam kehidupan sehari-hari, dan ini akan mengurangi kemungkinan timbulnya salah pengertian, yang akan dapat membawa kita pada konflik yang membahayakan kehidupan kita sendiri.
Sayang sekali, bahwa hal semacam ini masih belum sepenuhnya disadari oleh banyak warga masyarakat kita. Banyak orang masih menganggap bahwa persoalan bahasa akan dapat terselesaikan dengan sendirinya asalkan sudah ada bahasa nasional; konflik dan kericuhan akan berkurang bilamana masalah ekonomi dapat terpecahkan; salah pengertian dan konflik yang diakibatkannya dapat dicegah bilamana orang semakin sadar akan agamanya, semakin tinggi pendidikannya, dan sebagainya. Mereka yang mengikuti pandangan semacam ini lupa bahwa semua itu akhirnya bermuara pada soal komunikasi antarkelompok dan antarindividu. Bagaimana komunikasi bisa berjalan dan salah pengertian bisa dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui bahasa masing-masing dengan baik?
***
Salah satu yang saya kritisi adalah paragraf terakhir dalam sub-bab ini, yang kurang menjelaskan kalimat"bagaimana komunikasi bisa berjalan dan salah pengertian bisa dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui bahasa masing-masing dengan baik?" sehingga maksudnya ambigu, dan bisa saja orang akan menjawab:"karena itu, agar lebih mudah, berkomunikasilah dengan satu bahasa, bahasa pemersatu".
Kalimat tersebut tentu tidak dapat langsung dimaknai sesederhana itu, karena menurut saya di situ Prof. Ahimsa-Putra bermaksud merujuk pada konteks bahasa dan cara [pemikiran] penuturnya memandang hidup, kenyataan, dan lingkungan. Kita ambil contoh yang cukup dekat, dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai macam istilah padi, gabah, nasi yang dalam bahasa Inggris hanya dikenal sebagai rice. Dalam bahasa Jawa, istilah ini lebih kaya lagi dengan tambahan sega, upa, dan intip. Barulah istilah paddykemudian lahir untuk menyesuaikan (mohon koreksinya). Di sini terlihat perbedaan pada masyarakat Indonesia dan Inggris dalam memandang padi, gabah, nasi, atau rice tersebut —yang dalam hal ini terkait pada Indonesia sebagai negara agraris yang mengenal bercocok tanam dengan sistem bersawah, yang mana hal ini tidak ditemukan di Inggris. Karena perbedaan kebudayaan (sistem mata pencaharian adalah salah satu unsur kebudayaan, menurut beberapa pandangan) tersebut, maka sangat tidak mungkin untuk dapat memahami satu sama lain sepenuhnya hanya dengan satu bahasa.
Semoga sedikit penjelasan ini dapat membantu atas pengertian terhadap tulisan di atas.
CATATAN: Tulisan ini sedikit banyak untuk menanggapi tulisan Bahasa Dayak yang Mulai Pudar dan Menuju Perlindungan Budaya Itah. Tulisan ini juga diterbitkan di blog pribadi saya dengan judul yang sama.
* petikan tulisan "Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia" oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, foto oleh antobilang.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar